(Pencawapresan) Gibran Jadi Bahan Olok-olok Dunia
Majunya Gibran sebagai cawapres bukan saja telah melanggar konstitusi secara etika, tapi juga Gibran sangat tidak layak untuk menduduki posisi cawapres.
Bukankah majunya Gibran sebagai walikota Solo juga karena faktor nepotisme yang “diselundupkan” oleh Jokowi melalui Ketum PDIP? Padahal waktu itu tahapan pencalonan, menurut Ketua Panitia Pemilihan, FX Hadi Rudyatmo sudah selesai. Tapi kenapa tiba-tiba Gibran malah yang jadi walikota ? Inilah cara-cara Jokowi memaksakan keluarganya untuk menduduki jabatan tertentu.
Rupanya cara yang sama diterapkan oleh Jokowi ketika mencawapreskan Gibran, yaitu dengan memperalat Ketua MK Anwar Usman yang tidak lain adalah adik iparnya sendiri, sehingga putusan MK sangat tidak fair dan cacat hukum karena ada conflict of interest. Akhirnya fungsi MK yang seharusnya menjadi penjaga kebenaran dan keadilan telah berubah menjadi Mahkamah (kepentingan) Keluarga.
Gibran itu baru menjabat Walikota dua tahun, prestasinya belum ada, pengalamannya minim, kemampuan memerintah juga belum ada, lha kok malah loncat sangat jauh beberapa tangga langsung ke Cawapres ? Akal sehat yang seperti apa yang dipakai Jokowi dan pendukungnya (baca : penjilatnya?).
Rakyat Indonesia menolak cara-cara Jokowi dalam membangun dinasti politik dengan jalan pintas, culas, menipu, menyuap, mengintimidasi, dan melanggar norma dan etika hukum. Hanya orang-orang yang kurang akal sehatnya yang mendukung pencalonan Gibran. Orang waras pasti bisa melihat ketidakwajaran terhadap pencawapresan Gibran ini.
Kritikan pedas muncul dari berbagai media di dalam dan luar negeri.
Di dalam negeri, ada koran Tempo yang menyebut Gibran cawapres sebagai anak haram konstitusi. Di luar negeri ada Harian Al-Jazeera yang menyebut Gibran sebagai Nepo baby (bayi nepotisme).
Saat ini Gibran yang plonga-plongo tidak bisa ngomong lurus dan selalu menghindari debat dan tanya jawab, tapi dipaksakan jadi cawapres lewat putusan “ilegal” MK, bukan saja telah menjadi bahan olok-olok di Indonesia (tengok olok-olok netizen di berbagai medsos), tapi juga jahan olok-olok di seluruh dunia.
Harian Handesblat dari Jerman menyoroti majunya Gibran sebagai cawapres “selundupan” demi membangun politik dinasti menandakan telah matinya demokrasi di Indonesia. Koran Al-Jazeera (sebuah organisasi media berita terbesar dan terpenting di Timur Tengah bermarkas di Doha) menyoal dinasti politik Jokowi dengan proses tidak normal di MK sehingga menjuluki Gibran sebagai Nepo baby Harian New York Times (sebuah harian terbesar di Amerika yang berusia lebih dari 200 tahun) juga mengkritik cara-cara yang digunakan Jokowi dalam menjadikan Gibran sebagai cawapres melalui kongkalingkong dengan pamannya, Anwar Usman, melalui putusan Ketua MK.
Pemberitaan negatif Gibran ada di berbagai koran dunia dengan pemberitaan yang sinis terhadap cara-cara Jokowi membangun politik dinasti.
Jokowi sendiri sudah kehilangan harga diri dan rasa malu, sehingga pun seluruh dunia mengkritiknya dia tidak ambil pusing, yang didengarkan Jokowi cuma para dorna dan sengkuni di sekitarnya yang terus membohongi Jokowi dengan memuji-muji bahkan menjilat-jilat agar terus bisa dipakai. Walaupun Jokowi ibaratnya semua orang melihatnya sudah telanjang tapi oleh penjilatnya terus dibilang masih gagah perkasa.
Bagai rakyat yang berakal sehat, langkah Jokowi mencawapreskan Gibran itu langkah bunuh diri.
Ada beberapa bahaya bagi bangsa dan negara jika Gibran benar-benar dipaksakan menang :
Pertama, Indonesia masih dalam cengkeraman China.
Baik Jokowi maupun Gibran cuma boneka saja. Pengendali utamanya adalah China. Memang tidak perlu orang pintar dan berijazah, yang penting mau diatur. Gibran dan Prabowo sama saja tidak punya integritas dan nasionalisme.
Kedua, Jika Gibran menang, Jokowi akan terus cawe-cawe.
Gibran hanya kepanjangan tangan Jokowi saja. Bahkan Prabowo sendiri bakal “dikucilkan” oleh Jokowi dengan dukungan China dan oligarki taipan. Sesuatu yang sangat buruk bisa terjadi kepada Prabowo.
Ketiga, Dengan tidak adanya kemampuan Gibran mengurus negara, seperti halnya Jokowi, maka tindakan Gibran bakal lebih sadis dari Jokowi yang memang sudah sadis
Demokrasi dimatikan, kebebasan berbicara dibungkam, tindakan kepada bawahan dan rakyat makin otoriter, rakyat hanya dijadikan “sapi perah” untuk mengikuti kemauan penguasa, korupsi dipastikan bakal lebih meraja lela, hutang bakal bertambah drastis, dan kekacauan bakal muncul di mana-mana.
Keempat, Karakter Jokowi bakal menurun ke Gibran, like son like father.
Karakter Jokowi yang pembohong, penipu, tidak amanah, lain di mulut lain di hati, dan merendahkan nilai-nilai dan etika bakal ditiru Gibran.
Kelima, Program kesejahteraan bagi rakyat hanya basa basi dan omong kosong.
Pemimpin hipokrit dan penuh pencitraan tidak akan benar-benar mencintai rakyatnya, mau berkorban untuk rakyat, dan mau mengutamakan rakyat daripada dirinya. Yang terjadi adalah sebaliknya : rakyat jadi korban dan dimanfaatkan untuk kepentingan diri, keluarga, dan kroni-kroninya.
Keenam, Lembaga-lembaga negara masih tetap di bawah kendali penguasa, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Sama seperti di era Jokowi, penguasa terus mengendalikan lembaga-lembaga negara, karena para pimpinannya akan dipilih yang setia penguasa dan mudah disogok walaupun harus mengorbankan harga diri lembaga.
Ketujuh, Hukum masih jadi bahan permainan untuk mengintimidasi lawan politik dan rakyat kecil.
Hukum akan tetap tumpul ke atas tajam ke bawah, selalu tebang pilih, yang dibidik adalah para oposisi, lawan politik, dan orang-orang yang vokal menyuarakan kebenaran. TNI-POLRI bakal diperalat lagi untuk memback-up kepentingan penguasa.
Kedelapan, Pelanggaran hukum dan etika akan terus terjadi.
Baru jadi cawapres saja sudah tidak peduli aturan main : politik uang, bagi-bagi susu di acara CFD, tidak jujur saat debat cawapres, main intimidasi, dll.
Kesembilan, Islamophobia terus berlanjut, Islam ditekan, ulama disingkirkan.
Jokowi dan Prabowo adalah penganut Islamophobia. Selama rezim Jokowi, sudah berapa banyak ulama yang terbunuh, dipenjara, dikriminalisasi, dan dipersekusi. Hanya di era Jokowi FPI diberangus. Jika paslon 02 menang, masa depan Islam sangat suram.
Kesepuluh, Posisi Indonesia di kancah dunia bakal semakin terpuruk, apalagi jika Prabowonya udzur.
Prabowo sendiri Pro Israel, nama Prabowo di dunia internasional ada masalah dengan pelanggaran HAM yang belum tuntas. Selama era Jokowi Indonesia tidak banyak berperan. Lima kali Sidang Umum PBB tidak pernah hadir. Jika ada pertemuan multilateral Jokowi selalu dicuekin oleh para pemimpin dunia karena tidak bisa berkomunikasi. Gibran tidak jauh beda, selain tidak bisa berkomunikasi juga orangnya tidak mampu bergaul.
Sungguh sangat miris jika paslon 02 dipaksa dimenangkan Jokowi. Demi ambisi pribadi negara dikorbankan. Para pendukung Gibran sengaja ingin menghancurkan negara demi segepok uang haram.
Semoga Allah Ta’ala akan memenangkan pasangan Anies-Muhaimin.
Bandung, 7 Rajab 1445
Oleh: Sholihin MS
Pemerhati Sosial dan Politik
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
(Pencawapresan) Gibran Jadi Bahan Olok-olok Dunia
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar